OTORIDER - Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Knalpot Indonesia (AKSI) pada 2023, lebih dari 300 ribu perajin knalpot aftermarket di seluruh Indonesia memiliki jumlah transaksi harian mencapai 7.000 unit. Namun, hal itu menurun seiring banyaknya razia knalpot brong.
Demi mengatasi masalah itu, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengatakan perlunya Standard Nasional Indonesia (SNI) untuk knalpot aftermarket yang diproduksi oleh pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
"Kalau sudah ada SNI maka konsumen tidak lagi takut untuk membeli knalpot 'aftermarket', karena sudah terstandardisasi sehingga tidak lagi terkena razia," papar Teten dalam acara Demo Day Knalpot Aftermarket yang digelar Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) di Jakarta, Senin (25/3).
Memang hingga saat ini, semua produksi knalpot aftermarket belum memiliki SNI yang regulasinya sendiri belum ada. Karena itu, diupayakan adanya regulasi SNI bagi produk. "Industri kreatif otomotif knalpot ini cukup besar potensi dan nilainya, karena melibatkan 300 ribu produsen hingga penyerapan tenaga kerja yang besar," ungkap Teten.
Kemenkop UKM sendiri telah berdiskusi dengan AKSI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) serta Badan Standardisasi Nasional (BSN) terkait rencana penyusunan standardisasi untuk knalpot aftermarket.
Knalpot aftermarket buatan UMKM harus memenuhi ambang batas yang telah diatur dalam Permen KLHK Nomor 56 Tahun 2019. Batas kebisingan adalah 80 desibel (dB) untuk motor dengan kubikasi 80-175 cc dan 83 dB untuk motor di atas 175 cc.
"Industri knalpot aftermarket ini merupakan UMKM yang memiliki potensi yang sangat baik, sehingga harus didukung melalui regulasi yang sederhana dan efisien," ujar Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM, Hanung Harimba Rachman. (*)