Motor Nerobos Perlintasan: Salah Pengendara atau Minim Infrastruktur?
Kasus motor menerobos perlintasan kereta api masih marak di Indonesia. KAI mencatat 34 kecelakaan terjadi Januari–Juli 2025. Pelanggar terancam pidana 3 bulan atau denda Rp750 ribu.
OTORIDER - Kasus pengendara motor nekat menerobos perlintasan kereta api masih marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Padahal, tindakan ini sangat berbahaya dan berpotensi mengancam nyawa.
PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 1 Jakarta mencatat, sepanjang Januari hingga Juli 2025, terjadi 34 kasus kecelakaan yang melibatkan kereta api dengan kendaraan bermotor di perlintasan sebidang.
“Pelanggaran di perlintasan kereta masih menjadi salah satu penyebab utama kecelakaan yang melibatkan perjalanan kereta api,” ujar Manager Humas KAI Daop 1 Jakarta, Ixfan Hendriwintoko di Jakarta, dikutip dari Antara, Senin (4/8).
Aturan Jelas, Sanksi Tegas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian serta Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan bahwa setiap pengendara wajib berhenti ketika sinyal kereta berbunyi dan palang pintu sudah tertutup.
Bagi yang nekat menerobos, ancaman sanksi menanti sesuai Pasal 296 UU LLAJ, yaitu pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda maksimal Rp750 ribu.
Ribuan Perlintasan Masih Tak Terjaga
Data PT KAI tahun 2025 mencatat terdapat 3.896 perlintasan sebidang atau Jalur Perlintasan Langsung (JPL) di Indonesia. Jumlah ini terdiri dari 2.803 JPL resmi dan 1.093 JPL liar.
Dari total tersebut, 1.879 JPL tidak terjaga, meliputi 971 JPL resmi tak terjaga dan 908 JPL liar tak terjaga. Sementara 2.017 JPL terjaga dioperasikan oleh PT KAI, Pemda, pihak swasta, hingga swadaya masyarakat.
Upaya Sosialisasi Keselamatan
KAI bersama pihak terkait telah melakukan berbagai upaya pencegahan, seperti membentangkan spanduk imbauan, membagikan stiker dan suvenir keselamatan, serta mengingatkan pengendara untuk tidak menerobos palang pintu saat sinyal peringatan berbunyi.
“Sosialisasi ini bukan hanya bentuk edukasi kepada masyarakat, tetapi juga ajakan kolaboratif bahwa keselamatan perjalanan kereta api adalah tanggung jawab bersama,” tambah Ixfan.
Pengawasan Minim, Solusi Perlintasan Tidak Sebidang
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, menilai minimnya pengawasan di perlintasan tak berpalang menjadi celah pelanggaran.
“Banyak perlintasan sebidang bermunculan seiring meluasnya permukiman. Kehidupan sudah 24 jam, tidak bisa lagi pintu perlintasan dijaga hanya pada jam tertentu,” ujarnya kepada Otorider.
Untuk jangka panjang, Djoko menyarankan pemerintah menutup perlintasan sebidang dan menggantinya dengan jalan layang (flyover) atau terowongan (underpass) demi keselamatan dan kelancaran lalu lintas.
Dengan tingginya angka pelanggaran dan kecelakaan di perlintasan kereta api, diperlukan kesadaran bersama antara pemerintah, operator kereta, dan masyarakat. Mematuhi rambu, berhenti saat sinyal berbunyi, serta mendukung pembangunan perlintasan tidak sebidang adalah langkah penting untuk mencegah tragedi. (*)